Gunung Piramid Sadahurip Bisa Merubah Sejarah Dunia

 

Gunung Piramid Di Kabupaten Garut


Garut Kota

Satu bukti tingginya karya seni nenek moyang terdahulu di tatar Pasundan, kini mulai terkuak dengan adanya gunung Phyramid Sadahurip di Garut dan gunung Lakon di Bandung. 


Gunung Sadahurip yang terletak sebelah timur Kampung Cicapar, Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Garut, dan sebelah barat Kampung Sindang Galih, Desa Sindang galih Kecamtan Karangtengah Garut, memang sangat fenomenal.


Gunung yang satu ini, memiliki bentuk berbeda dari gunung-gunung di sekelilingnya. Jika gunung-gunung yang lainnya berbentuk kerucut, berbedal halnya dengan gunung Sadahurip atau yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan gunung Putri yang memiliki bentuk Phyramida.


Bentuk Phyramidnya sangat jelas terlihat bila di lihat dari perkampungan sekitar. Memiliki empat sisi dan sudut lancip, tampak jelas terlihat ketika Kabar Priangan mendekati area tersebut.
Bentuk yang menyerupai Phyramida itu, kini sedang menjadi buah bibir para ilmuan peninggalan barang-barang bersejarah. Kini, mereka sudah mulai meneliti isi kandungan di dalam gunung tersebut.



Salah satu situs di internet mengatakan, Bukit Sadahurip yang menyerupai Phyramid itu, sudah diuji Geolistrik oleh teman2 dari BPPT dan PVMBG, dan sudah positif bahwa di dalam bukit ini ada batuan Phyramidnya degan susunan tanah penutup setebal 5 meter dan lalu batuan. 


Batu penyusun didalamnya terlihat berongga, Mempunyai 4 sisi dan 4 sudut bujursangkar dan mirip Pyramid, dan ujung atasnya sangat lancip Daerahnya tak pernah longsor meskipun gak ada peohonannya. Diduga kuat dibalik bukit ini terdapat Phyramid terpendam.


Mungkin jika Gunung Sadahurip ini terbukti ada phyramida di dalamnya, akan memperkuat temuan Konsorsium HUGO (Human Genome Project), yang beranggotakan 40 research group dari berbagai negara, yang menyatakan, mungkin harus membuat ulang buku sejarah kita.


 Apa pasal? Pada tahun 2009, melalui penelitian panjang yang melibatkan sampel gen dari hampir 2000 individu di Asia, yang dikombinasikan dengan riset antropologi kebudayaan, memunculkan sebuah konklusi yang mengejutkan "Ras Mongoloid bukanlah nenek moyang kita, namun sebaliknya, kitalah nenek moyang mereka" dirilis atlantis-lemuria-indonesia.blogspot.com.



Bagaimana bisa? Bukankah bangsa Cina telah membangun peradaban maju tak kurang dari 4000 tahun yang lalu? Bukankah populasi bangsa Cina telah sedemikian besar bahkan sejak jaman dinasti Han 2000 tahun yang lalu?
Hasil studi menunjukkan bahwa proses migasi manusia yang menghuni benua Asia adalah melalui garis pantai timur Afrika, semenanjung Arab, Asia Selatan, baru kemudian masuk ke Asia Tenggara dan Nusantara. Peristiwa ini terjadi sekitar 85.000-75.000 tahun yang lalu. Dengan demikian, nenek moyang kita berasal dari dataran India, bukan China.



Hasil riset ini menyusun family tree dari 73 kelompok etnis di Asia, dan secara mengejutkan, kelompok etnis Asia Tenggara, yaitu Thailand dan Indonesia, berada di bagian bawah, hanya setingkat di atas etnik India dan Uyghur. 


Genetic diversity di Asia Timur (Jepang, Korea dan China) dapat ditelusuri dari gen-gen yang ada di Asia Tenggara, terutama suku Mon di Thailand (yang memiliki gen Dravida, Bengali, Thai, Negrito, Melayu dll). 



Dari suku Mon inilah kemudian diturunkan ras Melayu yang tinggal di selatan Thailand, semenanjung Malaka hingga Nusantara. Jika diperhatikan dalam family tree , adalah hal yang menarik bahwa etnis Minang dan Batak ternyata memiliki gen yg berasal dari dataran India, sedangkan dalam etnis Jawa dan Sunda, gen tersebut muncul dalam prosentase yang jauh lebih kecil.



 Hal ini menunjukkan bahwa migrasi dari dataran India masuk melalui semenanjung Malaka, ke pulau Sumatera sebelum akhirnya menyebar ke seluruh wilayah Nusantara, menyebabkan genetic diversity semakin berkurang dari pulau Sumatera ke Sulawesi.
Jika studi ini benar, maka bangsa China yang masuk ke semenanjung Malaka dan Nusantara di awal masa kolonial pada dasarnya sedang “pulang kampung” ke tanah nenek moyangnya, dan ungkapan “saudara tua” yang pernah dilontarkan Jepang di awal invasi ke Indonesia telah salah kaprah. 


Gunung Sadahurip ini, diyakini oleh beberapa peneliti sebagai bukti, peninggalan sejarah tatar sunda dan disinyalir sebagai peninggalan nenek moyang ratusan ribu tahun yang lalu.

 Jika gunung ini terbukti ada Phyramid di dalamnya, dipastikan sejarah dunia telah salah kaprah.

Keberadaan gunung sadahurip, mendapat tanggapan dari masyarakat setempat, Menurut penuturan masyarakt Sukahurip Pangatikan, sekaligus saksi sejarah, H. Uti Jumiati (90), mengatakan, dari dulu memang gunung Putri (sadahurip) itu seperti Phyramid. 


Bentuknya yang terbilang istimewa di daerah kami karena keunikan bentuknya. Namun bagi kami tak ada yang istimewa dengan gunung tersebut, mungkin karena keterbatasan pengetahuan kami.


Namun, masih menurut Uti, ada juga, sebahagian orang yang mengeramatkan gunung tersebut. Menurutnya, sebahagian orang yang masih percaya, masih ada yang melakukan kegiatan ritual di gunung tersebut.
Penelusuran Kabar Priangan pun berlanjut ke Kantor Desa Sukahurip Kecamatan Pangatikan Garut.


 Menurut Sekretaris Desa Sukahurip, Sarif Hidayat (40), selama beberapa waktu belakangan ini, banyak sekali orang yang berdatangan untuk melakukan penelitian di gunung Sadahurip.


 Mungkin mereka penasar dengan banyaknya beredar rumor tentang adanya Phyramid di Garut.


Namun waktu itu, masih menurut Sarif, ke desa kami, kedatangan rombongan dari LIPI untuk melakukan penelitian tentang keberadaan gunung Sadahurip tersebut. 


Menurut persi mereka, gunung Sadahurip tersebut, bukanlah Phyramid, tapi hanya sekadar lempengan gempa yang kemudian membentuk Phyramid.


"Tapi yang saya herankan, jika gunung Sadahurip tersebut memang benar lempengan gempa, kenapa sejak 100 tahun yang alalu tak pernah ada longsor lagi. Padahal di gunung sadahurip tak ada pepohonan penguat tanahnya" terang Sarif.


Sejak peneliti dari LIPI itu, aktivitas di gunung sadahurip semakin meningkat. 

Banyak berdatangan berbagai lembaga yang melakukan penelitian di sana. Namun, sejak bulan Juni 2011, kegiatan tersebut tampak sepi lagi. 

0 Comments

Tinggalkan Komentar Di Sini