Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan yang baru-baru ini didengungkan menuai kontroversi. Ada satu pasal yang menyebut penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja mengundang polemik tajam di masyarakat.
PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan itu mencakup beberapa program kesehatan termasuk kesehatan sistem reproduksi.
Pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.
Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan, dalam pernyataannya menyebut PP yang ditandatangani pada Jumat (26/07) itu “dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja”.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar Netty pada Minggu (04/08).
BBC News Indonesia mengunduh salinan PP Nomor 28 Tahun 2024.
Berdasarkan isi dari dokumen regulasi tersebut, bagian “penyediaan alat kontrasepsi” dalam konteks usia sekolah dan remaja tidak dijelaskan lebih lanjut.
Meski begitu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi menegaskan pelayanan kontrasepsi “bukan untuk semua remaja” melainkan “remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan”.
“Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi [tidak melakukan kegiatan seksual],” ujar Nadia seraya menambahkan aturan itu akan diperjelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan pihaknya selama ini menyasar pasangan suami istri atau yang dirujuk sebagai “pasangan usia subur” untuk pemberian alat kontrasepsi.
Adapun untuk usia sekolah dan remaja, Hasto menekankan yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.
Hasto menekankan pihaknya akan “duduk bersama” dengan Kementerian Kesehatan juga berbagai pakar termasuk tokoh agama untuk merumuskan aturan tersebut secara teknis.
“Di Indonesia ini, kan, norma agama. Sehingga akhirnya biasanya kita menerjemahkannya kita pertimbangkan dari segenap tokoh agama seperti Majelis Ulama,” tegasnya.
*Dn*
0 Comments
Tinggalkan Komentar Di Sini